Keberpihakan
menafikan netralitas. Ia muncul lantaran ada kepentingan subjektif. Dalam hal
ini, objetivitas menjadi tidak penting. Media massa pun turut bermain dalam hal
ini. Masyarakat sekarang berada pada posisi dilematis, mau mempercayai media
yang mana? Mengingat keberpihakan dilatarbelakangi kepentingan subjektif, maka
pencapaian tujuan yang melatardepaninya. Di sini, segala cara cenderung menjadi
sah, sejauh terget dapat diraih. Di tengah persoalan ini, bagaimana Gereja
meresponinya. Apakah Gereja diam?
Pada Zaman Orde baru, ada
guyonan politik bahwa di negara-negara totaliter dokter gigi tak laku. Bukan
karena tak ada pasien sakit gigi, tetapi karena tak ada yang berani buka mulut. Buka mulut adalah
berbahaya, bisa dicap anti pembangunan, bisa dikenakan pasal-pasal tertentu.
Oleh karena itu, supaya aman, semua harus diam, ikut petunjuk resmi atau
setengah resmi. Tak boleh tampil beda, harus seragam seperti pakain sekolah.
Di era Reformasi, ada guyonan
tercatat dokter yang paling berlaku keras ialah ahli THT. Soalnya banyak sekali
pasien penderita radang tenggorokan. Bukan karena kurang gizi, tetapi karena
terlalu banyak buka mulut dan berteriak menuntut kebebasan yang semu. Di sana,
siapa saja boleh berteriak, tetapi tak semua orang wajib menjawab.
Charles Frost mencoba mengakses
kedua fenomena yang kontras di atas. Katanya, “pelitnya penguasa membuka keran
demokrasi”. Akibatnya, sekali keran dibuka higga dol, maka bumi tirai bambu
banjir peluh, air mata dan darah manusia. Di samping itu, masyarakat belum siap
berdemokrasi atau menikmati kebebasan yang mengucur deras dan tiba-tiba itu
dari keran demokrasi.
Kita adalah bangsa yang pintar
mengambil hikmah dari berbagai pengalaman. Kita tidak boleh terjepit di antara
dua titik ekstrem di atas. Kita menciptakan petunjuk baru-juklak, juknis, jukri dan jukdung-sebagai acuan dalam berprilaku.
Kita menjadi manusia-manusia petunjuk.
Inter
Mirifica adalah dekrit Konsili Vatikan II tentang “Media Komunikasi
Sosial”. Dokumen ini dipromulgasikan oleh paus Paulus VI tanggal 4 Desember
1965. Terjemahan dari judul Inter
Mirifica (di antara karya teknologi yang mengagumkan) mengatakan maksud
dari dokumen ASK ini. IM menaruh keprihatinan besar pada kemajuan kreativitas
manusia dalam teknologi komunikasi.
Kemajuan komunikasi telah mengubah
peradaban manusia. Komunikasi manusia memiliki kodrat tujuan: menyampaikan
kebenaran. Teknologi komunikasi diperuntukkan bagi hidup manusia dalam
menggapai kebenaran. Setiap komunikasi kepalsuan haruslah disimak sebagai penyalahgunaan
media dan pelanggaran komunikasi.
Media komunikasi juga memiliki
maksud kodrati: harus digunaka secara moral mengembangkan dan memuliakan hidup
manusia. Jika media komunikasi digunakan untuk menghantam dan merusak keluhuran
hidup manusia, halnya secara moral bertentangan dengan prinsip kemajuan
komunikasi itu sendiri.
Karena kodrat media komunikasi yang
demikian (mengantar pencapaian kebenaran) dan maksudnya harus memuliakan hidup
manusia, diperlukan cita rasa tanggungjawab dari para eskponen dan pengelola
media komunikasi. Kemajuan komunikasi manusia harus pula melukiskan kebersatuan
seluruh umat manusia, dan menghindarkan bangsa-bangsa terpecah-belahan.
Tugas utama dan kodrati umat
kristiani ialah mewartakan injil. Injil adalah Kabar Baik kepada semua orang.
Karena itu, seiring dengan kemajuan komunikasi, umat Kristiani makin dipanggil
untuk menyesuaikan cara-cara baru yang lebih berdayaguna untuk mewartakan Kabar
Baik. Gereja mendorong dan memberi semangat kepada segenap lapisan umat untuk belajar
dan memanfaatkan seefektif mungkin media komunikasi dalam rangka melanjutkan
tugas perutusannya, mewartakan Kabar Gembira.
Dekrit IM menggarisbawahi
keterpautannya dengan tugas pewartaan injil sebagai “dimensi pastoral kemajuan
media komunikasi”. Gereja juga mendorong Hari Komunikasi Dunia sebagai bentuk
perhatian nyata terhadap bidang komunikasi manusia. Malahan, Gereja mendesak
agar umat katolik (awam, klerus atau biarawan/ti) tidak menunda-nunda
keikutsertaan mereka dalam kemajuan komunikasi untuk kepentingan perwartaan
injil. Juga, agar Gereja memanfaatkan mereka yang ahli di bidang komunikasi
untuk memajukan pewartaan dalam Gereja. Kemajuan sarana komunikasi haruslah juga
makin memuliakan Allah. Jurnalisme menjadi lapangan pengabdian Gereja kepada
bangsa. (Bdk. Armada Riyanto, Katolisitas Dialogal)
Oleh Eugen Sardono