![]() |
Ilustrasi diambil dari http://kiokarma.com/ |
Karya : Wiwin Herna Ningsih
Ketika kemarau usai di penghunjung bulan
September, laki-laki itu berjanji akan datang dan mengajaknya makan dan
jalan-jalan di luar.
Di sebuah bukit yang rimbun yang penuh
dengan pohon pinus yang meneduhkan dengan sebuah rindu.
Dan rindu itu begitu menyekap jiwanya,
begitu rentan.
Dan rindu itu seperti fatamorgana yang
memabukkan begitu hebatnya, begitu berat
menyandang sebuah rindu.
Rindu itu telah menenggelamkannya, hingga
derai air mata tak tertahankan, hanya untuk sebuah rindu.
Dan malampun jiwanya tak tenang, gelisah
senantiasa, karena rindunya tak kunjung tiba dalam ingatannya. Seperti sebuah denting
hujan menusuki hatinya semakin lama semakin perih.
Bagaikan pedang mengiris relung jiwa
karena sebuah rindu.
Dan air mata tetap membasahi tempat
tidurnya yang sunyi.
Hanya tembok bisu dan dingin menatap hampa
padanya.
Dan perempuan itu menanti rindunya hingga
ke alam mimpi.
Mimpi yang indah akan sebuah janji, dan
janji itu tak kunjung tiba, dalam tidurnya dia menangis.
Menangisi dadanya yang berat oleh sebuah
rindu.
Lelangit kamarpun yang lengang adalah
penawar rindunya dalam temaram cahaya samar dari lampu neon yang sebentar lagi
akan padam dan mati.
Diapun menangis meminta kepada Tuhannya
dalam doanya yang tak sempat dia ucapkan.
Karena dadanya sesak oleh tangis dan rindu
yang menyatu dalam jiwa.
"Oh Tuhan, sampai kapan rindu ini
membelenggu jiwaku yang hampa?"
Itulah ucapan yang kian hari kian
menyiksanya.
Dan perempuan itu tumbang, karena setiap
hari dia menangis, menangisi rindunya, yang kini telah menghilang di sebuah
bukit pinus yang sunyi dan tertiup kabut selamanya.
Bandung Barat, 24 November 2019