![]() |
Rian Tap |
Oleh: Rian Tap
Sepotong Rindu Pada Sabda
Kini, waktu menjadi wadah kenang pada pelita yang sunyi.
Bekas jahitan yang pernah kau sulam dari derai kehidupan
Kini menjadi kesempurnaan rasa.
Sebentar lagi aku akan melepas rindu pada sang sabda.
Ku harap engkau juga,
Langit masih berwarna hitam, bukan lagi biru yang berlapis putih.
Aku mencoba menyerupi sepotong rindu pada sabda.
Agar rasamu adalah diriku.
Bukan lagi dirinya.
Dan menjadi pertemuan antara bibirmu yang menepi saat rindu memangku sepi.
Engaku tersipu.
Dalam ruang, engkau berceloteh; “doamu terlalu lama,
Aku menjawab, ya, karena cinta terlalu singkat.
Rebahan Senja Untuk Sabda
Senja resah terkurung rebah
Garisan pelangi kian tampak tak bermakna.
Bak serpihan asa teruntuk rasa.
Selepas menetas rintik pada khusyuk sunyi.
Jika dihening malam menjelang,
Barisan musafir muda berjejer rapi di altar suci.
Lonceng pun telah menampakkan rindu.
Rindu berasah dalam ruang Sang Sabda.
Sisa butiran hujan, kian menetes pada pohon cemara andalan rumah tua itu,
Meranum kata berbisik di sudut sunyi sepi.
Pualam rasa pun di peluk sunyi.
Engkau, belum terasah dalam Sang Sabda.
Tuan Bunuh Diri
Bukan lagi benar bahwa tuan itu kekal.
Rasanya tuan sendiri juga menyesal,
Melihat mereka yang nampak tenang dengan lontenya di pojok ruang.
Tuan cape, melihat banyak persaingannya.
Pada waktu yang telah ditetapkan,
Di hari kemunafikan yang penuh mafia.
Tepat pukul penuh dengan kebohongan.
Tuan kesekian ratus kemungkaran.
Tuan akhirnya bunuh diri.
Semoga tenang di sana, ucap kaum akar rumput.
Karib Sunyi
Ruang sunyi berkarib mengiringi air mata.
Asa tersemat gugur di sapa gerimis
Membias serbuk-serbuk hujan menyapa.
Celoteh insan membujuk.
Menjatuhkan kecipak pada gigi,
Ya, di bulir janji yang kian teringkari.
Ranting kian rabuh,
Jiwa kian mati.
Di kemas kenang, di peluk harap.
Menoleh rasa yang semakin menohok.
Jiwa ditikam pada perhelatan rasa.
Inikah sulaman pelangi asmara?
Remang berlalu, tanpa saling milik.
Bersama hidup dipancar rasa.
Sirna pupus tak tersisa.
Sirna bersama senja yang kehilangan jingga.
Menjadi abu, menjadi debu.
Ambruk pada musim yang sama.
Gadis Berlumur Getah
Ku temukan engkau pada ujung sebilah pisau.
Terikkan lantang bernada cemas yang sedikit parau.
Kalimat-kalimat bisu hilir mudik dari bibir mungilmu.
Inilah caramu menyebut gelisah.
Segala pikiran yang sudah terlanjur dipaksa.
Kini hanya tinggal menunggu waktu saja.
Tenang,
Aku masih sempat meraih tanganmu, tapi balasanmu apa?.
Merah pada pipiku, juga telapak kakiku yang berlumuran darah,
Bekas perjalanan panjang menujumu.
Penulis adalah Pegiat Sastra Sampul Buku . Asal Lembor Manggarai Barat.