![]() |
Pembelajaran yang "Membumi" |
Oleh: Sil Joni*
Konten pembelajaran formal di sekolah sedapat mungkin 'menjejak di bumi'. Maksudnya, materi pembelajaran itu, tidak boleh hanya bermain pada langit teoretis, dan tidak menyentuh realitas kontekstual. Efeknya adalah banyak lulusan sekolah sangat pandai berteori, tetapi mandul dalam memproduksi sesuatu dan kreatif dalam memecahkan masalah.
Konsep pembelajaran yang 'membumi', semakin urgen jika dihubungkan dengan orientasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga 'pencetak tenaga kerja yang siap pakai'. Itu berarti para siswa SMK tidak hanya dibekali dengan paket pembelajaran yang merangsang perkembangan kognitif-intelektual, tetapi juga pembelajaran yang menghantar mereka 'bisa berbuat sesuatu yang berguna' sesuai dengan bidang keahlian yang mereka tekuni.
Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya sering menyinggung soal konsep link and match antara SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Materi ajar di SMK harus berdasarkan kebutuhan konkret DUDI sebagai pengguna lulusan. Oleh sebab itu, dalam istilah yang lebih populer, antara SMK dan DUDI mesti terjadi sebuah 'perkawinan massal'. Komunikasi dan interaksi yang intensif dalam membangun kolaborasi yang positif, menjadi manifestasi dari perkawinan itu. Keduanya, mesti diikat oleh 'cinta' yang sama, yaitu cinta akan peningkatan standar kompetensi lulusan yang bisa terserap dalam DUDI.
Harus diakui bahwa sebagian lulusan SMK terpaksa tidak bisa diakomodir oleh DUDI sebab tak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Tidak heran jika SMK dinilai sebagai lembaga 'pencipta pengangguran terbanyak' saat ini. Kebutuhan konkret dan kondisi budaya kerja di DUDI, ternyata relatif berbeda dengan apa yang diajarkan di SMK.
Untuk menjembatani 'jurang perbedaan' itu, maka melibatkan DUDI dalam proses pembelajaran, mulai dari proses penyelarasan kurikulum, program magang guru, sampai pada mengoptimalkan potensi pihak DUDI untuk menjadi 'guru tamu', menjadi opsi yang relevan dan mendesak. Dengan itu, peserta didik tidak lagi 'merasa asing' dengan dinamika yang terjadi dalam DUDI.
Kita tidak bisa mengandalkan paradigma pembelajaran konvensional dan berpijak pada 'kurikulum klasik' dalam merespons tuntutan DUDI. Komposisi kurikulum yang lebih berorientasi praktek (70 persen), ternyata belum optimal diterapkan. Pun pembelajaran yang menekankan kecakapan kognitif, hanya memperhatikan dimensi pengetahuan, rasanya tidak relevan lagi atau sudah ketinggalan zaman.
Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini sedang memperkenalkan penerapan Kurikulum Merdeka di beberapa sekolah. Salah satu poin krusial yang ditekankan dalam kurikulum baru ini adalah implementasi proses pembelajaran berbasis project riil.
Dalam desain pembelajaran seperti ini, peserta didik diarahkan untuk bisa memproduksi sesuatu berdasarkan kebutuhan dan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar. Tetapi, project yang dikerjakan itu harus berbasis masalah riil.
Atas dasar itu, project riil merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pemecahan masalah melalui tahapan ilmiah yang dituangkan dalam bentuk produk yang dibutuhkan masyarakat. Itu berarti pembuatan project itu diawali dengan asesmen kebutuhan yang disesuaikan dengan standar kompetensi lulusan. Pertanyaan kuncinya adalah apa masalahnya? Apa kebutuhannya? Apa yang perlu dibuat untuk menjawab permasalahan dan kebutuhan itu.
Komponen yang dinilai adalah produknya. Produk itu bisa berupa barang atau jasa. Para siswa bisa mendesain dan membuat sebuah benda atau karya. Meski demikian, dalam pembuatan project, aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap juga mendapat porsi perhatian yang seimbang. Unsur soft skill dan hard skill dinilai secara obyektif.
Project riil ini bisa dibuat secara kolaboratif antara mata pelajaran produktif dan mata pelajaran umum. Karena itu, sebelum melakukan kegiatan, mesti ada semacam sinkronisasi antara materi esensial dari setiap mata pelajaran dengan tujuan dari project itu.
Lalu, bagaimana cara membuat modul pembelajaran berbasis project riil itu? Faktanya, tidak semua guru terampil dalam mendesain dan mengimplementasikan proses pembelajaran semacam itu. Untuk itu, upaya penguatan kapasitas guru, menjadi pilihan yang mendesak.
Sadar akan keterbatasan itu, pihak SMK Stella Maris yang sudah dua tahun menjadi SMK Pusat Keunggulan (PK) menyelenggarakan Workshop Pembelajaran Berbasis Project Riil selama dua hari, 24-25 Oktober 2022. Lokakarya ini menghadirkan Dr. Sudrajat, seorang pakar kurikulum sebagai narasumber. Selain itu, ibu Vini dan pak Widi dari Politeknik Negeri Bali, hadir juga sebagai narasumber. Sedangkan, pak Ponsi, General Manager Sudamala Resort, hadir mewakili DUDI.
Sang narasumber, Dr. Sudayat begitu telaten dan terampil dalam memandu peserta untuk menyusun modul sesuai dengan langkah atau tahapan. Hampir tidak ada tahapan yang dilewatkan begitu saja tanpa penjelasan dan pemberian contoh bagaimana semestinya mengisi format yang ada dalam setiap tahapan. Tegasnya, sang narasumber tidak akan beranjak ke item lain, sebelum memastikan apakah para peserta sudah mahir atau tidak.
Kesan saya, Dr. Sudayat ini membimbing peserta workshop dengan hati. Beliau mencurahkan perhatian dan kemampuan secara total untuk kemajuan atau peningkatan kualitas peserta. Metode yang dipakai sangat praktis, sederhana, dan mudah dipahami. Dahi peserta tidak terlalu berkerut saat menyimak dan mengikuti pemaparan beliau.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.