![]() |
"Riang Tana Tiwa (Tiba?) dan Lami Tana Taki (Pati?)" |
Oleh: Sil Joni*
Idiom bercitarasa lokalitas ke-Manggarai-an yang tersurat dalam judul tulisan ini tentu tidak 'terlempar' begitu saja dalam pentas sejarah kebudayaan kita. Ungkapan itu, selain sarat dengan makna substansial, pemunculannya juga dilatari oleh 'peristiwa historis' dalam setting budaya tertentu.
Boleh jadi, ungkapan itu sangat tepat 'membahasakan spirit zaman' pada kurun waktu tertentu, tetapi mungkin 'kurang pas' untuk konteks perkembangan kebudayaan di kekinian. Kritik tradisi (termasuk warisan idiom mulia dari para leluhur) menjadi semakin relevan. Bagaimana pun juga, sebuah produk budaya/tradisi yang salah satunya diawetkan dalam bentuk 'ungkapan (go'et), bukan warisan suci yang kebal terhadap kritik.
Kembali ke topik utama tulisan ini. Idiom 'riang tana tiwa dan lami tana taki' coba dibedah ulang untuk menemukan 'makna' yang lebih 'konek' dengan semangat zaman yang berkembang saat ini. Dalam kegiatan bedah dan peluncuran buku berjudul: "Kepingan Cerita Negeri (Kearifan Lokal di Indonesia Berpijak pada Keselarasan" di Rumah Baku Peduli, Watu Langkas hari ini, Kamis (3/12/2020), suara tafsiran kritis itu menguat.
Catatan kritis itu berasal dari Dr. Bernadus Barat Daya. Beliau lebih menyoroti ketepatan makna dua term (tiwa dan taki) dalam ungkapan 'riang tana tiwa dan lami tanah taki' itu. Dua istilah itu coba dicari padanan artinnya dalam 'Bahasa Kempo'. Sebagai intelektual yang peduli pada 'isu kebahasaan lokal', pak Bernadus belum menemukan arti kata 'tiwa' sehingga dianggap cocok untuk digabungkan dengan kata 'tana'.
Karena itu, pakar hukum tata negara ini dengan tegas mengusulkan agar kata tiwa diganti dengan 'tiba'. Riang tanah tiwa diubah menjadi riang tana tiba. Dalam Bahasa Indonesia kurang lebih diterjemahkan: "Menjaga tanah terberi". Ini sebuah imperasi etis untuk merawat dan menjaga 'keutuhan' dari tanah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang Manggarai umumnya dan orang Kempo khususnya.
Selanjutnya, term 'taki' dalam Bahasa Kempo menurut mantan KPUD Mabar ini berarti 'tukang, orang yang melakukan sesuatu'. Biasanya, term itu disandingkan dengan kata tertentu seperti taki nunduk (tukang omong), taki hang (tukang makan), taki mendi (budak), dll.
Dari pengertian ini, rasanya penempatan kata taki dalam ungkapan 'lami tana taki' itu, kurang tepat. Karena itu, beliau menganjurkan agar kata taki itu diganti pati' sehingga menjadi 'lami tana pati'. Ini sebuah seruan untuk mengolah tanah yang sudah dibagi. Kita tampil sebagai subyek otonom, bukan sekadar 'tukang, pekerja'.
Tetapi, saya kira pendapat Dr. Barat Daya ini, masih terbuka untuk diperdebatkan. Tafsiran itu hanya sebuah perspektif yang kebenarannya tidak bersifat absolut. Kornelis Karmon, seorang misionaris Manggarai yang sekarang bertugas di Pilipina, tak sepakat bila kata 'tiwa dan taki' dalam ungkapan (go'et) tersebut.
Karena itu, beliau coba menggali makna dari ungkapan itu. Pergumulannya berangkat dari kondisi sosial-budaya di desanya yang tidak jauh dari pantai pantai dan umumnya dihuni oleh masyarakat dengan pekerjaan utama nelayan. Komunikasi masyarakat di kampung beliau dengan masyarakat nelayan sangat lancar dan penuh kekeluargaan, sehingga term yang dipakai dalam dunia nelayan juga banyak diketahui oleh masyarakat di kampungnya.
"Sejauh yang saya tahu, masyarakat nelayan atau mereka yang hidupnya bergulat dengan dunia laut, menggunakan term "tiwa" untuk membahasakan perahu yang "berlabuh" sambil mengail. Misalnya, tiwa sampang" artinya perahu berlabuh dan orangnya mengail", jelas Kornelis.
Merunut ke term masyarakat nelayan tersebut, demikian Kornelis, "riang tana tiwa" boleh jadi sebuah ajakan atau seruan untuk "menjaga tanah tumpah darah, tanah kuni agu kalo" tempat kita mengais rejeki dari gangguan pihak luar. Sedangkan "lami tana taki" itu mungkin suatu ajakan atau seruan untuk menjaga (tanah) warisan leluhur agar tetap subur, aman, nyaman dan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi hidup.
Term "riang" dan "lami" sepintas memiliki kemiripan atau kesamaan arti. Namun menurut Kornelis, dalam penggunaannya berbeda karena menekankan target yang berbeda. Kornelis memberi contoh sederhana: "Ketika saya masih kecil orangtua saya biasa menyuruh saya "riang kode" (menjaga kera) dan "lami uma" (menjaga kebun)".
Merujuk pada pengalaman kecil masa lalu tersebut, Kornelis memahami kata "riang" lebih pada menjaga, melindungi, membentengi sesuatu yang kita miliki (tanah) dari pengaruh luar. Sedangkan term "lami" lebih kepada urusan ke dalam, menjaga, memelihara, merawat sehingga yang kita miliki (tanah) menghasilkan sesuatu yang berguna untuk mempertahankan hidup.
Atas dasar itu, menurut Kornelis, kalau term "tiwa" diganti dengan "tiba", dan term "taki" diganti dengan "pati" bisa saja terjadi pergeseran makna atau pesan yang mau disampaikan. Mirip, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Untuk itu, sebaiknya term Tiwa dan taki' itu, tetap dipertahankan.
Saya sendiri, cenderung sepakat dengan penjelasan Kornelis ini. Para leluhur kita tentu sudah memiliki khazanah pengetahuan yang cukup terhadap makna dari setiap kata yang digunakan dalam sebuah go'et. Kata 'tiwa' bukan nir-makna seperti yang diuraikan oleh Dr. Barat Daya di atas. Demikian pun, dengan kata 'taki', tidak selalu mengacu pada interpretasi literal.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.