Dies Cinerum: Mengapa Kita Menjadi Abu di Kepala- Darimana datangnya kebiasaan ini dan Apa Maknanya
![]() |
(Ilustrasi: google) |
Rabu Abu mengirim kita ke padang pasir Prapaskah yang ditandai dengan kerendahan hati, penyesalan dan kefanaan. Darimana datangnya kebiasaan ini?
Orang-orang yang akrab dengan Kitab Suci pasti sudah mengetahui jawabannya: Abu adalah tanda berkabung di dalam Alkitab yang sering dikaitkan dengan memakai kain goni atau bahan kasar. Misalnya dalam Kitab Ayub 2:8, Ayub “duduk di antara abu” ketika dia ditimpa.
Demikianpun ketika Tamar diperkosa oleh Amnon, dia “menaruh abu di kepalanya dan merobek jubah panjang yang dia kenakan; dan dia meletakkan tangannya di atas kepalanya dan pergi sambil menangis dengan suara keras” (2 Sam 13:19).
Kitab Ester 4, juga menegaskan ketika Mordekhai dan orang Yahudi mengetahui perintah penganiayaan mereka, mereka mengenakan kain kabung dan abu. Dan tentu yang paling terkenal, dalam Kitab Yunus 3:6, ketika raja Niniwe diperintahkan untuk bertobat, “ia bangkit dari singgasananya, menanggalkan jubahnya dan menutupi dirinya dengan kain kabung dan duduk di atas abu.
Penggunaan abu — terkadang diucapkan “debu” — mungkin memiliki beberapa asal usul. Abu sering muncul dalam Pentateuch sebagai hasil dari pengorbanan di Bait Suci, sehingga jumlahnya banyak dan melambangkan apa yang tersisa setelah persembahan dibakar. Abu dan debu diinjak-injak di bawah kaki dan dengan demikian direndahkan dan dihina.
Abu adalah juga simbol orang mati dan dalam "Keturunan Ishtar"- Dewi Mesopotamia kita mengetahui bahwa abu adalah makanan orang-orang di dunia bawah. Hal ini makin jelas kita lihat dalam Matius 10:14 (Lukas 9:5), Yesus memberi tahu para rasul-Nya untuk "kebaskan debu dari kakimu" jika mereka tidak diterima di suatu tempat.
Hal lain juga merujuk pada hubungan antara abu dan debu tanah yang membentuk manusia dalam Kitab Kejadian 2:7. Demikian juga dalam budaya Romawi yang menggunakan abu dan pelayat diharapkan mengotori wajah dengan mengacak-acak rambut mereka saat berduka.
Dari sini kita mendapatkan penjelasan bahawa penggunaan abu untuk penyesalan muncul secara alami dari kaitannya dengan dukacita: Kita berduka atas dosa-dosa kita. Seperti yang dikatakan Pemazmur, “Aku ini ulat dan bukan manusia,” (22:6) dan di manakah ulat merayap kalau bukan di tanah.
Penggunaan abu ini diteruskan dari budaya Yahudi dan Romawi ke era Kristen awal dan menandai abu di kepala menjadi salah satu tanda penyesalan. Ingat bahwa tobat adalah masalah publik dan karenanya membutuhkan tanda-tanda lahiriah yang bisa diliat sebagaimana sekarang kita menerima abu di kepala. Tanda-tanda ini mulai menyatu dan menjadi formal antara abad ke-7 dan ke-11.
Sebagai contoh pada abad ke-10, penulis prosa asal Inggris, Ælfric yang saat itu menjadi kepala Biara di Eynsham menulis sebuah homili yang terkenal prihal tentang Rabu Abu:
[...Pada hari Rabu, di seluruh dunia, para imam memberkati abu di gereja dan setelah itu meletakkannya di atas kepala manusia, agar mereka ingat bahwa mereka berasal dari bumi dan akan kembali menjadi debu lagi, bahkan ketika Tuhan Yang Mahakuasa berbicara kepada Adam.
Kita membaca dalam kitab Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa mereka mengolesi diri mereka dengan abu dan membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang marilah kita melakukan hal kecil ini di awal Masa Prapaskah kita, yaitu kita menaburkan abu di atas kepala kita, sebagai tanda bahwa kita harus bertobat dari dosa-dosa kita selama masa Prapaskah kita..]
Maka, Dies Cinerum atau "Hari Abu" yang dipraktekan Gereja menjadi tindakan universal sejak abad ke-11, ketika Paus Urbanus II secara resmi mengumumkan penggunaan abu di kepala sampai hari ini.
Pastor Bonus MSF House, Quezon city PHP
Garsa Bambang, MSF