Oleh: Sil Joni*
![]() |
Ketika Dia Tahu Saya "Mantan Frater" (foto ist.) |
Acara talk show (bincang-bincang seputar dunia literasi) sudah digelar. Tugas saya sebagai moderator (pemandu) diskusi, sudah ditunaikan dengan baik. Sesi 'makan bersama' di siang ini, pun telah usai.
Saya baru saja pamit dengan beberapa anggota panitia acara, termasuk Kepala Dinas (Kadis Kearsipan dan Perpustakaan), Agustinus Rinus. Rencana berikutnya adalah pulang ke SMK Stella Maris sebab kebetulan saya ada jam mengajar sore hari pada salah satu kelas di lembaga ini.
Persis di lantai pertama gedung Perpustakaan Daerah Mabar hari ini, Rabu (15/2/2023), dia dengan lantang 'menebak' status masa lalu saya. Sebelumnya, dalam acara 'talk show' tadi, dia sudah membaca 'latar belakang' saya berdasarkan 'gaya' yang saya tampilkan dalam memandu acara talk show itu.
Sebelum 'meninggalkan' ruangan itu, saya berjabat tangan dengan dirinya. Entah siapa yang memberitahu dirinya, dia langsung berkata: "Saya sudah duga, pak itu 'mantan frater'. Sambil tertawa saya jawab: 'tidak salah pak'. Lalu, beliau meneruskan pembicaraan itu. "Gaya orang belajar filsafat itu, persis seperti yang pak tunjukkan itu. Umumnya, mantan frater' punya gaya yang hampir mirip dengan pak", katanya dengan wajah cerah dan tersenyum.
Saya tidak pernah menduga bahwa seorang anggota DPR RI, dari komisi X, Dr. Andreas Hugo Pareira, bisa bercakap begitu akrab dengan 'orang sederhana' seperti saya ini. Meski obrolan di gedung itu, sangat singkat, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya dan segenap tata bahasa tubuhnya, begitu membekas dalam ingatan saya hari ini.
Memang, sejatinya ada banyak orang baru yang berjumpa dengan saya, bisa menebak dengan baik 'academic backround' saya. Mereka dengan spontan berkata: "Pasti ite, pak mantan frater'". Setelah ditanya mengapa anda begitu yakin, saya pernah berada dalam lembaga formasi calon pastor Katolik itu, jawaban mereka umumnya demikian: "Mantan seminari atau mantan frater itu, punya gaya yang unik".
Tetapi, perjumpaan dan pengalaman ada bersama Dr. Andreas ini, terasa spesial. Bukan karena beliau 'orang besar (anggota DPR RI), tetapi karena gaya bertuturnya yang ramah dan apa adanya. Dalam suasana semacam itulah, saya bisa 'membuka diri' untuk memberi arti terhadap momen pertemuan itu.
Dari 'cerita kecil' ini, saya 'terjaga' bahwasannya kepribadian seseorang bukan buah dari faktor bawaan (hereditas), tetapi juga hasil 'tempaan' dalam lingkungan pendidikan tertentu. Dengan perkataan lain, manusia berproses dan dibentuk dalam iklim dan lokus yang spesifik. Lembaga formasi punya andil yang besar dalam 'memformat' gaya dan tampilan sisi personalitas kita.
Benar bahwa identitas itu tak pernah final. Kita selalu dalam proses mengidentifikasi diri menuju 'telos' yang paripurna. Tetapi, setidaknya, melalui serangkaian proses formasi dalam institusi tertentu, kita bisa menggapai apa yang menjadi 'kekhasan' kita.
Saya misalnya, karena sebagian perjalanan sejarah hidup saya, ada dalam lintasan panggilan khusus, maka entah disadari atau tidak, saya membawa serta buah dari proses yang saya timba dalam lingkungan itu. Gaya hidup sebagai seorang 'kandidat imam', telanjur menyatu dalam diri ini, sehingga meski kini berpredikat sebagai 'awam', pesona 'kefrateran' itu, tidak pudar.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan, seusai tampil berbicara di depan publik, ada yang tidak ragu menyapa saya dengan sebutan Romo atau Pater. Saya hanya tersenyum dan mengangguk sambil berkata: "Banar, saya ini pater, tetapi 'pater familias' alias bapak keluarga. Atau jika mereka menyapa saya dengan sebutan Romo, jawaban saya: "Tidak salah. Saya memang 'romo', yaitu 'rona momang (suami pujaan) dari mama Petrik".
Dulu, ketika berada di seminari, baik di seminari menengah maupun seminari tinggi, saya sangat bergairah untuk menjadi 'pastor'. Semangat hidup (spiritualitas) sebagai seminaris dan frater, dihayati dengan penuh kesungguhan. Singkatnya, saya sangat antusias dan total dalam menjalani panggilan hidup sebagai 'calon pastor' itu.
Sayang, semesta tak merestuinya. Raga saya tak berdaya untuk meneruskan 'cara hidup' sebagai klerus. Setelah dihantam 'badai penyakit yang silih berganti', sebelum meraih gelar sarjana filsafat, saya dengan tahu dan mau 'mengundurkan' diri dari biara. Saya hanya menatap dari 'bukit kerinduan' tetang mimpi menjadi pastor itu.
Meski demikian, saya sudah 'telanjur jatuh cinta' dengan kehidupan membiara itu. Walau kini, status saya bukan sebagai imam-misionaris, tetapi gaya hidup dalam panti formasi calon imam itu, telah terinternalisasi. Jadi, sebetulnya, saat ini saya hanya memancarkan secara kreatif mutiara nilai yang saya timba di kintal biara itu dulu.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.