Oleh: Sil Joni*
![]() |
Keunggulan Lain "Loyola": Perspektif Alumni (foto ist.) |
Dalam sebuah obrolan santai, seorang teman bertanya kepada saya: "Mengapa teman tertarik untuk menulis tentang SMAK St. Ignatius Loyola". Sambil tersenyum saya menjawab: "Saya adalah alumni sekolah ini. Kebetulan, pada Juli 2023 ini, almamater saya ini akan merayakan pesta Pancawindu (40 tahun). Saya ingin menyemarakan momen itu melalui festival gagasan di ruang publik".
Saya tidak punya cukup uang, emas, dan perak untuk disumbangkan kepada 'eks ibu asuh itu'. Saya hanya bisa menyalurkan gagasan sekenanya terkait pesona dan keunikan lembaga itu berdasarkan cakrawala pemahaman saya yang serba terbatas. Hanya dengan 'kerja kecil' semacam itu, saya bisa berpartisipasi dalam perayaan tersebut.
Artikel opini saya berjudul: "Api Semangat (Akademik) di Loyola", (societasnews.com, 20/2/2021) mendapat apresiasi simpatik dari sejumlah kolega, yang pada umumnya sesama alumni. Satu tanggapan yang sangat berkesan bagi saya adalah datang dari P. Kornelis Karmon, SVD, teman kelas saya di Loyola kala itu (1996-1999).
Beliau menulis tanggapannya melalui kanal What'sApp (WA) pribadi. Atas seizin dirinya, saya coba mengelaborasi lebih dalam poin-poin yang disinggung dalam komentarnya itu.
Pertama-tama, misionaris yang bekerja di Pilipina ini memberikan pujian yang tulus atas 'opini' saya tersebut. "Saya membaca tulisan pak Sil tentang SMAK Loyola. Luar biasa. Api akademiknya semakin bersinar", tulis Pater Kornelis.
Terkait dengan 'penyesalan saya' perihal keterlambatan menekuni dunia literasi, alumnus STFK Ledalero ini menegaskan bahwa 'tidak ada kata-kata terlambat'. Literasi adalah sebuah budaya yang bisa ditekuni oleh siapa dan kapan saja. Kata kuncinya adalah kemauan dan tekad yang kuat.
Selanjutnya, komentar Pater Kornelis itu, akan diturunkan secara utuh pada bagian berikut ini. "Saya senyum-senyum sendiri ketika mengingat kembali persoalan yang dikategorikan serius waktu itu terkait tulisan di majalah dinding yang diberi judul "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", karya Fransiskus Jehoda, yang sekarang ini menjabat sebagai Kepala sekolah SMK Negeri Wae Cepang, Satarmese Barat, Kab. Manggarai.
Saya tersentuh dengan ulasan tentang nama sekolah, kenapa diberi nama "SMAK St. Ignatius Loyola" dan bukan "St. Arnoldus Janssen" atau "St. Yosef Freinademetz". Selain yang telah dipaparkan oleh pa Sil, saya melihatnya dari perspektif tradisi religius Gereja Katolik, bahwa pelindung salah satu sekolah atau paroki atau tempat yang berbasis Katolik, biasanya memakai nama santo-santa, yang telah diakui oleh Gereja universal.
Semangat dan contoh hidup dari santo-santa itu kiranya yang menjadi api penyuluh semangat pelayanan, semangat pengabdian dari civitas akademika (sekolah) atau umat (paroki) lembaga tersebut. Pada waktu SMAK Loyola didirikan, saya kira Arnoldus Janssen dan Yosef Freinademetz belum digelar santo (bisa research di sejarah kedua santo itu). Hal ini terbukti dengan nama SMP yang ada di kompleks yang sama, mereka mengambil St. Arnoldus Janssen sebagai pelindungnya. Bisa disandingkan dengan pelindung Komunitas SVD di Labuan Bajo yang memilh Beato (Santo) Yosef Freinademetz sebagai pelindungnya.
Hal kedua yang menarik perhatian saya dari tulisan pak Sil adalah soal "identitas" atau "uniqueness" dari SMK Loyola (yang membedakannya dari SMA lain di wilayah Mabar), yang mana SMAK Loyola telah menciptakan kultur akademik yang merangsang kreativitas akademik para siswa.
Pada hemat saya, dua hal lain berikut ini juga bisa dikategorikan sebagai "uniqueness" SMK Loyola. Pertama, kultur hidup religius. Kultur hidup keagamaan ini didukung oleh program 'asrama dalam'. Termasuk siswa dari agama lain pun diijinkan intuk menikmati kultur religius ini. Bahkan yang paling intersan dari kebijakan semacam itu adalah ada siswi dari agama lain yang merasa terpanggil untuk menjadi Katolik dan dikabarkan telah menjadi Suster (mungkin bisa gali lagi informasi tentang ini).
Kedua, SMAK Loyola berpayungkan dua atap yang berbeda, yakni Loyola itu sendiri dan Seminari Yohanes Paulus II. Saya masih ingat P. Mikael Ambong, SVD dulu selalu bilang: "dua tapi satu, satu tapi dua." Tentu, hal ini unik pada jamannya.
Loyola telah menyalakan pelitanya untuk menyiapkan pelayan Gereja universal yang tangguh, yang tidak hanya kompeten pada bidang akademik tetapi juga kompeten pada bidang spiritual dan human relationship. Spirit misionaris ada dan tertanam dalam lembaga ini.
Saya sangat mendukung kalau pa Sil punya waktu mengulas lagi pada goresan berikutnya mengenai sisi lain sejarah lembaga SMK St. Ignatius Loyola, selain kultur akademik".
Dua hal yang menjadi semacam unsur pembeda SMAK Loyola tempo doeloe, seperti yang tersurat dalam komentar Kornelis di atas, rasanya tidak perlu diperdebatkan. Setidaknya, penilaian itu berangkat dari pengalaman nyata ketika 'ada bersama di Loyola untuk periode tertentu.
Untuk menambah perspektif terkait keunggulan Loyola, saya coba memotret ulang hal yang saya alami semasa studi di Loyola tahun 90-an. Terus terang, kiprah dan debut akademik SMAK St. Ignatius Loyola kala itu, menjadi semacam ‘trending topic’ di tengah masyarakat yang berdomisili di ujung Barat Pulau Flores. Umumnya, mereka sangat ‘bangga’ dengan performa lembaga itu. Selain memberi porsi perhatian yang besar pada aspek akademik, sebetulnya beberapa aspek berikut ini, bisa dianggap sebagai 'sisi unggul' dari lembaga ini.
Pertama, disiplin. SMAK St Ignatius Loyola tempo doeloe dikenal luas sebagai salah satu sekolah yang sangat memperhatikan kedisiplinan dalam pelbagai aspek. Kedisiplinan menjadi ‘elemen kunci’ mengapa lembaga ini relatif unggul dari beberapa SMA lain di kawasan Barat. Saya kira, praktik hidup yang serba disiplin itu, dimungkinkan oleh sistem pengelolaan sekolah ‘berasrama’ yang sudah menjadi semacam ‘trademark’ dari sekolah ini.
Boleh jadi, waktu itu, ada aturan yang ‘mewajibkan’ semua siswa/i untuk tinggal di asrama. Nama asrama Arnoldus untuk putra dan asrama Arnolda untuk putri cukup tenar waktu itu. Hemat saya, mungkin manajemen sekolah ‘berasrama’ inilah yang membuat SMAK St Ignatius Loyola menjadi opsi favorit atau rebutan tamatan SMP.
Kedua, pengembangan bakat dan kreativitas. Terus terang, untuk urusan ‘pengasahan bakat dan kreativitas’, SMAK St. Ignatius Loyola selalu ‘disegani’ dan menjadi yang terdepan. Dulu, pasukan ‘Marching Band/drumband anak-anak Loyola’, selalu menjadi menu acara yang ‘ditunggu-tunggu’ oleh publik kota Labuan Bajo. Mereka sukses ‘merebut’ perhatian para warga melalui penampilan yang memukau dan berkelas.
Dalam bidang olah raga, khususnya Bola Kaki dan Bola Volley, SMAK selalu menjadi ‘langganan juara’. Tim Bola Kaki SMAK tempo doeloe, sangat ditakuti dan diperhitungkan oleh tim lawan dalam pelbagai turnamen. Kesebelasan Loyola selalu tampil menghibur dan memberikan ‘warna’ yang berbeda. Bahkan ketika beberapa di antara mereka mengikuti pertandingan dalam rangka merayakan Natal dan Paskah di paroki-paroki, penonton sudah bisa menebak bahwa ‘pemain yang hebat’ itu pasti siswa SMAK St. Ignatius Loyola.
Hal yang sama terjadi di bidang musik. Performa Grub Band Loyola selalu mengundang ‘decak kagum’ dari publik penonton. Acara ‘Show Band’ yang difasilitasi oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), tak pernah sepi peminat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa anggota (kru) Loyola Band, menjadi ‘idola’ anak-anak remaja kala itu. Loyola band benar-benar menjadi ‘Band rujukan’ dan bisa menginspirasi penonton untuk menekuni dunia itu.
Ketiga, pengembangan kepribadian (aspek mental dan kerohanian). Selain sebagai ‘wadah menimba ilmu’, SMAK St. Ignatius Loyola, rupanya telah menjelma menjadi medan pengaktualisasian pelbagai potensi yang ada dalam diri siswa. Lembaga ini berhasil mengkreasi ruang yang luas agar siswa boleh ‘berproses’ secara bebas dan kreatif. Iklim pembinaan yang demokratis memungkinkan para siswa ‘tampil percaya diri’ di depan publik.
Lulusan SMAK St. Ignatius Loyola selalu ‘laku’ di tengah masyarakat. Saya masih ingat beberapa tamatan Loyola akhir tahun 80-an dan awal 90-an sangat ‘disukai’ masyarakat karena dianggap ‘serba bisa’. Mereka tampil hebat ketika dimintai untuk menjadi Master of Ceremony (MC) atau moderator sebuah acara, memimpin rapat, menyampaikan pendapat, sebagai dirigen, pelatih koor, pemain musik (gitar adalah musik andalan waktu itu), membawakan pidato atau sambutan, memimpin ibadat mulai dari tingkat KBG hingga paroki, dan aneka kegiatan lainnya.
Tegasnya, para alumni Loyola ‘selalu menjadi orang terdepan’. Saya tidak pernah melihat atau mendengar kesan negatif, setidaknya di Desa saya, tentang performa para alumni Loyola saat itu. Sebaliknya, kalimat yang sering saya tangkap dan simpan sampai saat ini adalah ‘mereka itu jebolan Loyola’. Masyarakat cukup kritis untuk membuat semacam pembedaan antara tamatan Loyola dan tamatan dari SMA yang lain.
Meski tidak memperkenalkan diri secara resmi, tetapi hanya dengan melihat dan merasakan pesona kepribadian dan pelbagai keunggulan yang dipunyai oleh individu tertentu, masyarakat sudah bisa menebak bahwa orang itu ‘tamat atau sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan’ di Loyola. Pancaran kepribadian dan kualitas diri para alumni sebagai ‘buah dari proses pendidikan di panti SMAK Loyola’ menjadi garansi pengakuan orang terhadap eksistensi lembaga ini. Ketika animo dan antusiasme masyarakat begitu tinggi untuk ‘mengirim dan menitipkan putra-putri’ mereka di lembaga ini pada periode itu, maka saya kira itu adalah bentuk penghargaan dan kepercayaan yang tak terbantahkan.
Ada semacam kerinduan dan harapan agar ‘anak-anak mereka’ boleh menyerupai atau melebihi ‘jebolan Loyola’ terdahulu itu. Citra ‘mereka itu jebolan Loyola’ tertanam kuat dalam diri masyarakat dan coba berimaji agar kelak anak saya pun boleh masuk dalam barisan ‘Mereka Itu Jebolan Loyola’. Ini sebuah modal sosial yang setidaknya berhasil dirawat dengan baik oleh SMAK St Ignatius Loyola hingga akhir tahun 90-an.
*Penulis adalah alumni SMAK St. Ignatius Loyola tahun 1999.